JENIS-JENIS PENGETAHUAN DAN TEORI-TEORI KEBENARAN
Makalah
Disusun
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah
“Filsafat
Ilmu”
Dosen
Pembimbing:
Dr.
Irfan Noor, M.Hum.
Disusun
Oleh :
AHMAD FUAD HASAN
I.
PENDAHULUAN
Salah satu cara untuk
menjelaskan tentang filsafat, adalah dengan cara memahami macam-macam
pengetahuan manusia. Filsafat adalah jenis pengetahuan manusia, yaitu
pengetahuan filsafat. Sedangkan pengetahuan adalah keadaan tahu; pengetahuan
adalah semua yang diketahui.[1]
Berpikir
merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar dimana sesuatu
yang dianggap benar bagi sesorang belum tentu dianggap benar oleh orang lain.
Oleh karena itu, kegiatan berpikir adalah suatu usaha untuk menghasilkan
pengetahuan yang benar itu atau kriteria kebenaran.[2]
Kebenaran adalah suatu nilai utama di dalam kehidupan masyarakat sebagai
nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya, sifat manusiawi atau
martabat kemanusiaan (human dignity)
selalu berusaha berpegang pada suatu kebenaran.
Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah
untuk mencapai kebenaran. Problem
kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi. Telaah
kebenaran secara epistemologi membawa orang kepada suatu kesimpulan bahwa ada
tiga jenis kebenaran, yaitu kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis, dan
kebenaran semantis.[3]
Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan
manusia. Kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar
yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Sedangkan
kebenaran dalam arti semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat
dalam tutur kata dan bahasa. Namun, dalam makalah ini penulis membatasi makna “kebenaran” pada kekhususan makna
“kebenaran keilmuan (ilmiah)”.
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan sedikit mengenai pengetahuan dan bagaimana jenis-jenis
pengetahuan, serta kebenaran dan bagaiman
teori-teori kebenaran ilmiyah itu berbicara.
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengetahuan dan Jenis – Jenis Pengetahuan
Pembahasan
tentang pengetahuan, perlu dibedakan antara pengetahuan biasa, (knowledge)
dengan ilmu pengetahuan (science). Menurut Pudjawijatna, pengetahuan
biasa adalah pengetahuan yang tidak amat sadar, dan ilmu pengetahuan adalah
pengetahuan tentang hal yang berlaku umum dan tetap serta pasti dan yang
terutama dipergunakan untuk keperluan sehari-hari itulah yang kami namai pengetahuan
biasa, atau dengan singkat disebut pengetahuan.[4]
Dalam
redaksional lain juga dibahasakan Maksud dari pengetahuan (knowledge) adalah
sesuatu yang hadir dan terwujud dalam jiwa dan pikiran seseorang dikarenakan
adanya reaksi, persentuhan, dan hubungan dengan lingkungan dan alam sekitarnya
. Pengetahuan ini meliputi emosi, tradisi, keterampilan, informasi, akidah, dan
pikiran-pikiran. Dalam komunikasi keseharian, kita sering menggunakan kalimat
seperti, “Saya terampil mengoperasikan mesin ini”, “Saya sudah terbiasa
menyelesaikan masalah itu”, “Saya menginformasikan kejadian itu”, “Saya
meyakini bahwa masyarakat pasti mempercayai Tuhan”, “Saya tidak emosi
menghadapi orang itu”, dan “Saya mempunyai pikiran-pikiran baru dalam solusi
persoalan itu”.[5]
Ketika mengamati
atau menilai suatu perkara, kita biasanya menggunakan kalimat-kalimat seperti,
saya mengetahuinya, saya memahaminya, saya
mengenal, meyakini dan mempercayainya. Berdasarkan realitas ini, bisa dikatakan bahwa pengetahuan itu memiliki derajat dan tingkatan.
Disamping itu, bisa jadi hal tersebut bagi seseorang adalah pengetahuan,
sementara bagi yang lainnya merupakan bukan pengetahuan. Terkadang seseorang
mengakui bahwa sesuatu itu diketahuinya dan mengenal keadaannya dengan baik,
namun, pada hakikatnya, ia salah memahaminya dan ketika ia berhadapan dengan
seseorang yang sungguh-sungguh mengetahui realitas tersebut, barulah ia
menyadari bahwa ia benar-benar tidak memahami permasalahan tersebut sebagaimana
adanya.
Pengetahuan adalah suatu keadaan yang hadir dikarenakan
persentuhan kita dengan
suatu perkara. Keluasan dan kedalaman kehadiran kondisi-kondisi ini dalam
pikiran dan jiwa kita sangat bergantung pada sejauh mana reaksi, pertemuan,
persentuhan, dan hubungan kita dengan objek-objek eksternal. Walhasil, makrifat
dan pengetahuan ialah suatu keyakinan yang kita miliki yang hadir dalam
syarat-syarat tertentu dan terwujud karena terbentuknya hubungan-hubungan
khusus antara subjek (yang mengetahui) dan objek (yang diketahui) dimana
hubungan ini sama sekali kita tidak ragukan. John Dewey menyamakan antara
hakikat itu sendiri dan pengetahuan dan beranggapan bahwa pengetahuan itu
merupakan hasil dan capaian dari suatu penelitian dan observasi. Menurutnya,
pengetahuan seseorang terbentuk dari hubungan dan jalinan ia dengan
realitas-realitas yang tetap dan yang senantiasa berubah.[6]
Pada umumnya pengetahuan dibagi menjadi: 1. Pengetahuan langsung
(immediate); 2. Pengetahuan tak langsung (mediated); 3.
Pengetahuan indrawi (perceptual); 4. Pengetahuan konseptual (conceptual);
5. Pengetahuan partikular (particular); dan 6. Pengetahuan universal (universal).[7]
1.
Pengetahuan
langsung (immediate);
Pengetahuan immediate adalah
pengetahuan langsung yang hadir dalam jiwa tanpa melalui proses penafsiran dan
pikiran. Kaum realis (penganut paham Realisme) mendefinisikan pengetahuan
seperti itu. Umumnya dibayangkan bahwa kita mengetahui sesuatu itu sebagaimana
adanya, khususnya perasaan ini berkaitan dengan realitas-realitas yang telah
dikenal sebelumnya seperti pengetahuan tentang pohon, rumah, binatang, dan
beberapa individu manusia. Namun, apakah perasaan ini juga berlaku pada
realitas-realitas yang sama sekali belum pernah dikenal dimana untuk sekali
meilhat kita langsung mengenalnya sebagaimana hakikatnya?. Apabila kita sedikit
mencermatinya, maka akan nampak dengan jelas bahwa hal itu tidaklah demikian
adanya.
2.
Pengetahuan
tak langsung (mediated);
Pengetahuan mediated adalah hasil
dari pengaruh interpretasi dan proses berpikir serta pengalaman-pengalaman yang
lalu. Apa yang kita ketahui dari benda-benda eksternal banyak berhubungan
dengan penafsiran dan pencerapan pikiran kita.
3.
Pengetahuan
indrawi (perceptual);
Pengetahuan indrawi adalah sesuatu
yang dicapai dan diraih melalui indra-indra lahiriah. Sebagai contoh, kita menyaksikan
satu pohon, batu, atau kursi, dan objek-objek ini yang masuk ke alam pikiran
melalui indra penglihatan akan membentuk pengetahuan kita. Tanpa diragukan
bahwa hubungan kita dengan alam eksternal melalui media indra-indra lahiriah
ini, akan tetapi pikiran kita tidak seperti klise foto dimana gambar-gambar
dari apa yang diketahui lewat indra-indra tersimpan didalamnya. Pada
pengetahuan indrawi terdapat beberapa faktor yang berpengaruh, seperti adanya
cahaya yang menerangi objek-objek eksternal, sehatnya anggota-angota indra
badan (seperti mata, telinga, dan lain-lain), dan pikiran yang mengubah
benda-benda partikular menjadi konsepsi universal, serta faktor-faktor sosial
(seperti adad istiadad). Dengan faktor-faktor tersebut tidak bisa dikatakan bahwa
pengetahuan indrawi hanya akan dihasilkan melalui indra-indra lahiriah.
4.
Pengetahuan
konseptual (conceptual);
Pengetahuan konseptual juga tidak
terpisah dari pengetahuan indrawi. Pikiran manusia secara langsung tidak dapat
membentuk suatu konsepsi-konsepsi tentang objek-objek dan perkara-perkara
eksternal tanpa berhubungan dengan alam eksternal. Alam luar dan konsepsi
saling berpengaruh satu dengan lainnya dan pemisahan di antara keduanya
merupakan aktivitas pikiran
5.
Pengetahuan
partikular (particular);
Pengetahuan partikular berkaitan
dengan satu individu, objek-objek tertentu, atau realitas-realitas khusus.
Misalnya ketika kita membicarakan satu kitab atau individu tertentu, maka hal
ini berhubungan dengan pengetahuan partikular itu sendiri.
6.
Pengetahuan
universal (universal).
Pengetahuan universal mencakup
individu-individu yang berbeda. Sebagai contoh, ketika kita membincangkan
tentang manusia dimana meliputi seluruh individu (seperti Muhammad, Ali, hasan,
husain, dan …), ilmuwan yang mencakup segala individunya (seperti ilmuwan
fisika, kimia, atom, dan lain sebagainya), atau hewan yang meliputi semua
indvidunya (seperti gajah, semut, kerbau, kambing, kelinci, burung, dan yang
lainnya).
B.
Kebenaran dan Teori
– Teori Kebenaran
Kebenaran
intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu
dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu
sendiri. Ada 2 (dua) pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti
nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari
keburukan (ketidakbenaran) (Syafi’i dalam Mawardi). Poedjawiyatna (dikutip
oleh Mawardi) mengatakan
bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut
kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui.
Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
Kebenaran dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu
kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis dan kebenaran
semantis. Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan
pengetahuan manusia. Kebenaran ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar
yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Sedangkan kebenaran semantis adalah kebenaran
yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa. Adapun teori-teori
kebenaran menurut filsafat adalah sebagai berikut :
1.
Teori Korespondensi (The
Correspondence Theory of Truth)
Kebenaran
korespondesi adalah kebenaran yang bertumpu pada relitas objektif.[8]
Kesahihan korespondensi itu memiliki pertalian yang erat dengan kebenaran dan
kepastian indrawi. Sesuatu dianggap benar apabila yang diungkapkan (pendapat,
kejadian, informasi) sesuai dengan fakta (kesan, ide-ide) di lapangan.[9]
Teori korispodensi (corespondence theory of truth)
menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila
ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan
objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Contoh dari
teori kebenaran ini adalah nilai kebenaran dari pernyataan “Palembang adalah
ibu kota Sumatera Selatan”. Pernyataan ini bernilai benar karena pada
kenyataannya Ibu kota Sumatera Selatan adalah Palembang. Dengan demikian, ada
lima unsur yang perlu yaitu :
1.
Statemaent
(pernyataan)
2.
Persesuaian
(agreemant)
3.
Situasi
(situation)
4.
Kenyataan
(realitas)
5.
Putusan
(judgements)
Contohnya: ada
seseorang yang mengatakan bahwa Provinsi Yogyakarta itu berada di Pulau Jawa.
Pernyataan itu benar karena sesuai dengan kenyataan atau realita yang ada.
Tidak mungkin Provinsi Yogyakarta di Pulau Kalimantan atau bahkan Papua.
Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif
menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menurut corespondensi ini
sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah
pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu.
Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar
bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.[10]
2.
Teori Koherensi atau Konsistensi
Teori koherensi disebut juga dengan konsistensi,
karena mendasarkan diri pada kriteria konsistensi suatu argumentasi. Makin
konsisten suatu ide atau pernyataan yang dikemukakan beberapa subjuk maka
semakin benarlah ide atau pernyataan tersebut. Paham koherensi tentang
kebenaran biasanya dianut oleh para pendukung idealisme, seperti filusuf
Britania F. H. Bradley (1846-1924).[11]
Teori ini
menyatakan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan, pendapat
kejadian, atau informasi) akan diakui sahih atau dianggap benar apabila
memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proporsi sebelumnya yang juga
sahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
logika.[12]
Sederhannya, pernyataan itu dianggap benar jika sesuai (koheren/konsisten)
dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Contohnya:
1.
Setiap manusia pasti akan mati.
Soleh adalah
seorang manusia. Jadi, Soleh
pasti akan mati.
2.
Seluruh
mahasiswa PAI, Fakultas
Tarbiyah dan keguruan IAIN Antasari mengikuti perkuliahan Filsafat Ilmu.
Edy adalah mahasiswa PAI, Fakultas
Tarbiyah dan keguruan IAIN Antasari. Jadi, Edy harus mengikuti kegiatan
perkuliahan Filsafat ilmu.
3.
Teori Kebenaran
Pragmatik/Pragmatisme
Pragmatisme menguji kebenaran dalam
praktek yang dikenal para pendidik sebagai metode project atau metode problem solving dalam pengajaran. Mereka akan
benar hanya jika mereka berguna dan mampu memecahkan problem yang ada. Artinya, suatu pernyataan itu benar
jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan
praktis dalam kehidupan manusia.[13]
Teori pragmatis ini pertama kali dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914)
dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make
Our Ideas Clear”.[14]
Dari pengertian
diatas, teori ini (teori Pragmatik) berbeda dengan teori koherensi dan
korespondensi. Jika keduanya berhubungan dengan realita objektif, sedangkan
pragmamtik berusaha menguji kebenaran suatu pernyataan dengan cara menguji
melalui konsekuensi praktik dan pelaksanaannya.
Dalam dunia
pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih
jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini
salah. Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara
tepat barulah teori itu benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah
itulah teori yang benar (kebenaran).
Teori pragmatisme (the pragmatic
theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu memliki
kebenaran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia (Musrida,
2010). Salah satu contoh teori ini dalam matematika adalah pada trigonometri
pengukuran sudut berguna untuk menentukan arah, kemiringan bidang atau
mendesain dan membuat suatu bangun ruang. Kaum pragmatis menggunakan kriteria
kebenarannya dengan kegunaan (utility),
dapat dikerjakan (workability) dan
akibat yang memuaskan (satisfactor
consequence). Oleh karena itu, tidak ada kebenaran yang mutlak/ tetap,
kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya. Akibat/ hasil yang
memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
1.
Sesuai
dengan keinginan dan tujuan,
2.
Sesuai
dengan teruji dengan suatu eksperimen,
3.
Ikut
membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada).
Pegangan
pragmatis adalah logika
pengamatan. Aliran ini bersedia menerima pengalaman pribadi, kebenaran mistis,
yang terpenting dari semua itu membawa akibat praktis yang bermanfaat.[15]
4.
Teori Kebenaran Performatik
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau
dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Pemegang otoritas yang menjadi
rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan
sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang
rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya. Namun, dismping itu juga masyarakat
yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan
rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti
kebenaran dari pemegang otoritas.[16]
Contohnya; mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian umat muslim di
Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian
yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.
5.
Teori Kebenaran Struktural Pardigmatik
Suatu teori itu dinyatakan benar jika teori itu
berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan
yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut. Paradigma
ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains
atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu
paradigma bersama. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena
adanya paradigma.[17]
Dengan kekuatan
paradigma dan masyarakat sains pendukungnya, diharapkan kebenaran struktural paradigmatik dapat menjawab
berbagai problema kehidupan manusia di masa depan. Krisis
global berupa krisis lingkungan dan krisis kemanusiaan yang selama ini telah
dialami oleh manusia karena Sains Modern, cepat atau lambat akan dijawab oleh
konsensus baru dengan paradigma yang menghasilkan metode yang lebih tepat dalam
mengantisipasi krisis global tersebut.[18]
III.
PENUTUP
Salah satu cara untuk
menjelaskan tentang filsafat, adalah dengan cara memahami macam-macam
pengetahuan manusia. Filsafat adalah jenis pengetahuan manusia, yaitu
pengetahuan filsafat. Sedangkan pengetahuan adalah keadaan tahu; pengetahuan
adalah semua yang diketahui.
Pengetahuan adalah suatu keadaan yang hadir
dikarenakan persentuhan kita dengan
suatu perkara. Keluasan dan kedalaman kehadiran kondisi-kondisi ini dalam
pikiran dan jiwa kita sangat bergantung pada sejauh mana reaksi, pertemuan,
persentuhan, dan hubungan kita dengan objek-objek eksternal. Walhasil, makrifat
dan pengetahuan ialah suatu keyakinan yang kita miliki yang hadir dalam
syarat-syarat tertentu dan terwujud karena terbentuknya hubungan-hubungan
khusus antara subjek (yang mengetahui) dan objek (yang diketahui) dimana
hubungan ini sama sekali kita tidak ragukan.
Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah
untuk mencapai kebenaran. Kebenaran itu
sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian pula tingkatan validitas.
Kebenaran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam penghayatan
atas sesuatu itu. Kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek tentang sesuatu
terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita, perisitwa,
nilai-nilai (norma dan hukum) yang bersifat umum.
Kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum.
Bahkan ada pula yang mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang
berupa penghayatan lahiriah, jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang
merupakan pemahaman potensi subjek (mental, rasio, intelektual). Substansi
kebenaran adalah di dalam intaraksi kepribadian manusia dengan alam semesta.
Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang menjangkaunya.
Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata
di mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.
[1] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum, Akal dan Hati sejak Thales dan Capra, (Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2009), h. 16
[2] Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA., Filsafat
IlmuI, (Jakarta:Rajawali Pers, 2012). h. 111
[3] Al-Holiab Wathloly, Tanggung
Jawab Pengetahuan, (Yogyakarta:Kanisius, 2001) dalam Prof. Dr. Amsal
Bakhtiar, MA., Filsafat IlmuI, (Jakarta:Rajawali Pers, 2012). h. 111
[5]
http://isyraq.wordpress.com/2007/11/26/substansi-dan-definisi-pengetahuan/
[7]
http://isyraq.wordpress.com/2007/11/26/substansi-dan-definisi-pengetahuan/
[8] Drs. Beni
Ahmad Saebani. Filsafat Ilmu: Kontemplasi filosofis tentang seluk beluk
sumber dan tujuan ilmu pengetahuan, (Bandung: Pustaka Setia, 2009). h. 7
[9] Drs. H. Moh.
Adib. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan logika ilmu
pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010). h.122
[12] Drs. H. Moh.
Adib. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan logika ilmu
pengetahuan. h.121
[15] Drs. Beni
Ahmad Saebani. Filsafat Ilmu: Kontemplasi filosofis tentang seluk beluk
sumber dan tujuan ilmu pengetahuan. h. 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar