Selasa, 01 Oktober 2013

Filsafat Ilmu



JENIS-JENIS PENGETAHUAN DAN TEORI-TEORI KEBENARAN
Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah
Filsafat Ilmu

Dosen Pembimbing:
Dr. Irfan Noor, M.Hum.
Disusun Oleh :
AHMAD FUAD HASAN


I.          PENDAHULUAN
Salah satu cara untuk menjelaskan tentang filsafat, adalah dengan cara memahami macam-macam pengetahuan manusia. Filsafat adalah jenis pengetahuan manusia, yaitu pengetahuan filsafat. Sedangkan pengetahuan adalah keadaan tahu; pengetahuan adalah semua yang diketahui.[1]
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar dimana sesuatu yang dianggap benar bagi sesorang belum tentu dianggap benar oleh orang lain. Oleh karena itu, kegiatan berpikir adalah suatu usaha untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu atau kriteria kebenaran.[2] Kebenaran adalah suatu nilai utama di dalam kehidupan masyarakat sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya, sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha berpegang pada suatu kebenaran.
Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai  kebenaran. Problem kebenaran inilah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi. Telaah kebenaran secara epistemologi membawa orang kepada suatu kesimpulan bahwa ada tiga jenis kebenaran, yaitu kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis, dan kebenaran semantis.[3] Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Sedangkan kebenaran dalam arti semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa. Namun, dalam makalah ini penulis membatasi makna “kebenaran” pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”.
Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan sedikit mengenai pengetahuan dan bagaimana jenis-jenis pengetahuan, serta kebenaran dan  bagaiman teori-teori kebenaran ilmiyah itu berbicara.


II.        PEMBAHASAN
A.                Pengetahuan dan Jenis – Jenis Pengetahuan
Pembahasan tentang pengetahuan, perlu dibedakan antara pengetahuan biasa, (knowledge) dengan ilmu pengetahuan (science). Menurut Pudjawijatna, pengetahuan biasa adalah pengetahuan yang tidak amat sadar, dan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan tentang hal yang berlaku umum dan tetap serta pasti dan yang terutama dipergunakan untuk keperluan sehari-hari itulah yang kami namai pengetahuan biasa, atau dengan singkat disebut pengetahuan.[4]
Dalam redaksional lain juga dibahasakan Maksud dari pengetahuan (knowledge) adalah sesuatu yang hadir dan terwujud dalam jiwa dan pikiran seseorang dikarenakan adanya reaksi, persentuhan, dan hubungan dengan lingkungan dan alam sekitarnya . Pengetahuan ini meliputi emosi, tradisi, keterampilan, informasi, akidah, dan pikiran-pikiran. Dalam komunikasi keseharian, kita sering menggunakan kalimat seperti, “Saya terampil mengoperasikan mesin ini”, “Saya sudah terbiasa menyelesaikan masalah itu”, “Saya menginformasikan kejadian itu”, “Saya meyakini bahwa masyarakat pasti mempercayai Tuhan”, “Saya tidak emosi menghadapi orang itu”, dan “Saya mempunyai pikiran-pikiran baru dalam solusi persoalan itu”.[5]
Ketika mengamati atau menilai suatu perkara, kita biasanya menggunakan kalimat-kalimat seperti, saya mengetahuinya, saya memahaminya, saya mengenal, meyakini dan mempercayainya. Berdasarkan realitas ini, bisa dikatakan bahwa pengetahuan itu memiliki derajat dan tingkatan. Disamping itu, bisa jadi hal tersebut bagi seseorang adalah pengetahuan, sementara bagi yang lainnya merupakan bukan pengetahuan. Terkadang seseorang mengakui bahwa sesuatu itu diketahuinya dan mengenal keadaannya dengan baik, namun, pada hakikatnya, ia salah memahaminya dan ketika ia berhadapan dengan seseorang yang sungguh-sungguh mengetahui realitas tersebut, barulah ia menyadari bahwa ia benar-benar tidak memahami permasalahan tersebut sebagaimana adanya.
Pengetahuan adalah suatu keadaan yang hadir dikarenakan persentuhan kita dengan suatu perkara. Keluasan dan kedalaman kehadiran kondisi-kondisi ini dalam pikiran dan jiwa kita sangat bergantung pada sejauh mana reaksi, pertemuan, persentuhan, dan hubungan kita dengan objek-objek eksternal. Walhasil, makrifat dan pengetahuan ialah suatu keyakinan yang kita miliki yang hadir dalam syarat-syarat tertentu dan terwujud karena terbentuknya hubungan-hubungan khusus antara subjek (yang mengetahui) dan objek (yang diketahui) dimana hubungan ini sama sekali kita tidak ragukan. John Dewey menyamakan antara hakikat itu sendiri dan pengetahuan dan beranggapan bahwa pengetahuan itu merupakan hasil dan capaian dari suatu penelitian dan observasi. Menurutnya, pengetahuan seseorang terbentuk dari hubungan dan jalinan ia dengan realitas-realitas yang tetap dan yang senantiasa berubah.[6]
Pada umumnya pengetahuan dibagi menjadi: 1. Pengetahuan langsung (immediate); 2. Pengetahuan tak langsung (mediated); 3. Pengetahuan indrawi (perceptual); 4. Pengetahuan konseptual (conceptual); 5. Pengetahuan partikular (particular); dan 6. Pengetahuan universal (universal).[7]
1.         Pengetahuan langsung (immediate);
Pengetahuan immediate adalah pengetahuan langsung yang hadir dalam jiwa tanpa melalui proses penafsiran dan pikiran. Kaum realis (penganut paham Realisme) mendefinisikan pengetahuan seperti itu. Umumnya dibayangkan bahwa kita mengetahui sesuatu itu sebagaimana adanya, khususnya perasaan ini berkaitan dengan realitas-realitas yang telah dikenal sebelumnya seperti pengetahuan tentang pohon, rumah, binatang, dan beberapa individu manusia. Namun, apakah perasaan ini juga berlaku pada realitas-realitas yang sama sekali belum pernah dikenal dimana untuk sekali meilhat kita langsung mengenalnya sebagaimana hakikatnya?. Apabila kita sedikit mencermatinya, maka akan nampak dengan jelas bahwa hal itu tidaklah demikian adanya.
2.         Pengetahuan tak langsung (mediated);
Pengetahuan mediated adalah hasil dari pengaruh interpretasi dan proses berpikir serta pengalaman-pengalaman yang lalu. Apa yang kita ketahui dari benda-benda eksternal banyak berhubungan dengan penafsiran dan pencerapan pikiran kita.
3.         Pengetahuan indrawi (perceptual);
Pengetahuan indrawi adalah sesuatu yang dicapai dan diraih melalui indra-indra lahiriah. Sebagai contoh, kita menyaksikan satu pohon, batu, atau kursi, dan objek-objek ini yang masuk ke alam pikiran melalui indra penglihatan akan membentuk pengetahuan kita. Tanpa diragukan bahwa hubungan kita dengan alam eksternal melalui media indra-indra lahiriah ini, akan tetapi pikiran kita tidak seperti klise foto dimana gambar-gambar dari apa yang diketahui lewat indra-indra tersimpan didalamnya. Pada pengetahuan indrawi terdapat beberapa faktor yang berpengaruh, seperti adanya cahaya yang menerangi objek-objek eksternal, sehatnya anggota-angota indra badan (seperti mata, telinga, dan lain-lain), dan pikiran yang mengubah benda-benda partikular menjadi konsepsi universal, serta faktor-faktor sosial (seperti adad istiadad). Dengan faktor-faktor tersebut tidak bisa dikatakan bahwa pengetahuan indrawi hanya akan dihasilkan melalui indra-indra lahiriah.
4.         Pengetahuan konseptual (conceptual);
Pengetahuan konseptual juga tidak terpisah dari pengetahuan indrawi. Pikiran manusia secara langsung tidak dapat membentuk suatu konsepsi-konsepsi tentang objek-objek dan perkara-perkara eksternal tanpa berhubungan dengan alam eksternal. Alam luar dan konsepsi saling berpengaruh satu dengan lainnya dan pemisahan di antara keduanya merupakan aktivitas pikiran
5.         Pengetahuan partikular (particular);
Pengetahuan partikular berkaitan dengan satu individu, objek-objek tertentu, atau realitas-realitas khusus. Misalnya ketika kita membicarakan satu kitab atau individu tertentu, maka hal ini berhubungan dengan pengetahuan partikular itu sendiri.
6.         Pengetahuan universal (universal).
Pengetahuan universal mencakup individu-individu yang berbeda. Sebagai contoh, ketika kita membincangkan tentang manusia dimana meliputi seluruh individu (seperti Muhammad, Ali, hasan, husain, dan …), ilmuwan yang mencakup segala individunya (seperti ilmuwan fisika, kimia, atom, dan lain sebagainya), atau hewan yang meliputi semua indvidunya (seperti gajah, semut, kerbau, kambing, kelinci, burung, dan yang lainnya).

B.                 Kebenaran dan Teori – Teori Kebenaran
Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Ada 2 (dua) pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) (Syafi’i dalam Mawardi). Poedjawiyatna (dikutip oleh Mawardi) mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.
     Kebenaran dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis dan kebenaran semantis. Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan.  Sedangkan kebenaran semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa. Adapun teori-teori kebenaran menurut filsafat adalah sebagai berikut :
1.         Teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Truth)
Kebenaran korespondesi adalah kebenaran yang bertumpu pada relitas objektif.[8] Kesahihan korespondensi itu memiliki pertalian yang erat dengan kebenaran dan kepastian indrawi. Sesuatu dianggap benar apabila yang diungkapkan (pendapat, kejadian, informasi) sesuai dengan fakta (kesan, ide-ide) di lapangan.[9]
Teori korispodensi (corespondence theory of truth) menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Contoh dari teori kebenaran ini adalah nilai kebenaran dari pernyataan “Palembang adalah ibu kota Sumatera Selatan”. Pernyataan ini bernilai benar karena pada kenyataannya Ibu kota Sumatera Selatan adalah Palembang. Dengan demikian, ada lima unsur yang perlu yaitu :
1.      Statemaent (pernyataan)
2.      Persesuaian (agreemant)
3.      Situasi (situation)
4.      Kenyataan (realitas)
5.      Putusan (judgements)
Contohnya: ada seseorang yang mengatakan bahwa Provinsi Yogyakarta itu berada di Pulau Jawa. Pernyataan itu benar karena sesuai dengan kenyataan atau realita yang ada. Tidak mungkin Provinsi Yogyakarta di Pulau Kalimantan atau bahkan Papua.
Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menurut corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.[10]
2.         Teori Koherensi atau Konsistensi
Teori koherensi disebut juga dengan konsistensi, karena mendasarkan diri pada kriteria konsistensi suatu argumentasi. Makin konsisten suatu ide atau pernyataan yang dikemukakan beberapa subjuk maka semakin benarlah ide atau pernyataan tersebut. Paham koherensi tentang kebenaran biasanya dianut oleh para pendukung idealisme, seperti filusuf Britania F. H. Bradley (1846-1924).[11]
Teori ini menyatakan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan, pendapat kejadian, atau informasi) akan diakui sahih atau dianggap benar apabila memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proporsi sebelumnya yang juga sahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan logika.[12] Sederhannya, pernyataan itu dianggap benar jika sesuai (koheren/konsisten) dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Contohnya:
1.      Setiap manusia pasti akan mati. Soleh adalah seorang manusia. Jadi, Soleh pasti akan mati.
2.      Seluruh mahasiswa PAI, Fakultas Tarbiyah dan keguruan IAIN Antasari mengikuti perkuliahan Filsafat Ilmu. Edy adalah mahasiswa PAI, Fakultas Tarbiyah dan keguruan IAIN Antasari. Jadi, Edy harus mengikuti kegiatan perkuliahan Filsafat ilmu.
3.         Teori Kebenaran Pragmatik/Pragmatisme
Pragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal para pendidik sebagai metode project atau metode problem solving dalam pengajaran. Mereka akan benar hanya jika mereka berguna dan mampu memecahkan problem yang ada. Artinya, suatu pernyataan itu benar jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.[13] Teori pragmatis ini pertama kali dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”.[14]
Dari pengertian diatas, teori ini (teori Pragmatik) berbeda dengan teori koherensi dan korespondensi. Jika keduanya berhubungan dengan realita objektif, sedangkan pragmamtik berusaha menguji kebenaran suatu pernyataan dengan cara menguji melalui konsekuensi praktik dan pelaksanaannya.
Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah. Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran).
Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu memliki kebenaran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia (Musrida, 2010). Salah satu contoh teori ini dalam matematika adalah pada trigonometri pengukuran sudut berguna untuk menentukan arah, kemiringan bidang atau mendesain dan membuat suatu bangun ruang. Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat yang memuaskan (satisfactor consequence). Oleh karena itu, tidak ada kebenaran yang mutlak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya. Akibat/ hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
1.      Sesuai dengan keinginan dan tujuan,
2.      Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen,
3.      Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada).
Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima pengalaman pribadi, kebenaran mistis, yang terpenting dari semua itu membawa akibat praktis yang bermanfaat.[15]
4.         Teori Kebenaran Performatik
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya. Namun, dismping itu juga masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas.[16]
Contohnya; mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian umat muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.
5.         Teori Kebenaran Struktural Pardigmatik
Suatu teori itu dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma.[17]
Dengan kekuatan paradigma dan masyarakat sains pendukungnya, diharapkan kebenaran struktural paradigmatik dapat menjawab berbagai problema kehidupan manusia di masa depan. Krisis global berupa krisis lingkungan dan krisis kemanusiaan yang selama ini telah dialami oleh manusia karena Sains Modern, cepat atau lambat akan dijawab oleh konsensus baru dengan paradigma yang menghasilkan metode yang lebih tepat dalam mengantisipasi krisis global tersebut.[18]

III.     PENUTUP
Salah satu cara untuk menjelaskan tentang filsafat, adalah dengan cara memahami macam-macam pengetahuan manusia. Filsafat adalah jenis pengetahuan manusia, yaitu pengetahuan filsafat. Sedangkan pengetahuan adalah keadaan tahu; pengetahuan adalah semua yang diketahui.
Pengetahuan adalah suatu keadaan yang hadir dikarenakan persentuhan kita dengan suatu perkara. Keluasan dan kedalaman kehadiran kondisi-kondisi ini dalam pikiran dan jiwa kita sangat bergantung pada sejauh mana reaksi, pertemuan, persentuhan, dan hubungan kita dengan objek-objek eksternal. Walhasil, makrifat dan pengetahuan ialah suatu keyakinan yang kita miliki yang hadir dalam syarat-syarat tertentu dan terwujud karena terbentuknya hubungan-hubungan khusus antara subjek (yang mengetahui) dan objek (yang diketahui) dimana hubungan ini sama sekali kita tidak ragukan.
Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai  kebenaran. Kebenaran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian pula tingkatan validitas. Kebenaran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam penghayatan atas sesuatu itu. Kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek tentang sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita, perisitwa, nilai-nilai (norma dan hukum) yang bersifat umum.
Kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula yang mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan lahiriah, jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang merupakan pemahaman potensi subjek (mental, rasio, intelektual). Substansi kebenaran adalah di dalam intaraksi kepribadian manusia dengan alam semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang menjangkaunya. Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata di mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.



[1] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales dan Capra, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2009), h. 16
[2] Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA., Filsafat IlmuI, (Jakarta:Rajawali Pers, 2012). h. 111
[3] Al-Holiab Wathloly, Tanggung Jawab Pengetahuan, (Yogyakarta:Kanisius, 2001) dalam Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, MA., Filsafat IlmuI, (Jakarta:Rajawali Pers, 2012). h. 111
[4] Pudjawiyatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta: Pustaka Sarjana, 1993).  h.13
[5] http://isyraq.wordpress.com/2007/11/26/substansi-dan-definisi-pengetahuan/
[6] John Dewey, Philosophy of Education, h. 14.
[7] http://isyraq.wordpress.com/2007/11/26/substansi-dan-definisi-pengetahuan/
[8] Drs. Beni Ahmad Saebani. Filsafat Ilmu: Kontemplasi filosofis tentang seluk beluk sumber dan tujuan ilmu pengetahuan, (Bandung: Pustaka Setia, 2009). h. 7
[9] Drs. H. Moh. Adib. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan logika ilmu pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010). h.122
[10]  http://van88.wordpress.com/teori-teori-kebenaran-filsafat/
[11] Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992). h.176
[12] Drs. H. Moh. Adib. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan logika ilmu pengetahuan. h.121
[13] Jujun S. Suriasumantri. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer.  h. 59
[14] Ibid. h. 57
[15] Drs. Beni Ahmad Saebani. Filsafat Ilmu: Kontemplasi filosofis tentang seluk beluk sumber dan tujuan ilmu pengetahuan. h. 7
[16] http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&dn=20080702084806
[17] Ibid.
[18] Ibid,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar